Suatu ketika, di sebuah masjid di Yogyakarta, saya kebetulan membaca sebuah buletin yang tersedia di masjid. Yang membuat saya kaget, di buletin tersebut dikatakan bahwa PAM–alias “Perusahaan Air Minum” milik negara–itu hukumnya haram. Alasannya adalah sebuah hadits yang dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan air penduduknya secara cuma-cuma. Benarkah anggapan tersebut? Mari kita simak hadits yang dimaksudkan, juga penjelasan para ulama mengenai maknanya.
عن أَبي خِدَاشٍ – وَهَذَا لَفْظُ عَلِىٍّ – عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ غَزَوْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثًا أَسْمَعُهُ يَقُولُ الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Dari Abu Khidasy dari salah seorang shahabat muhajirin, beliau mengatakan bahwa beliau tiga kali ikut berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendengar Nabi bersabda, “Ada tiga hal yang menjadi milik bersama kaum muslimin: rumput, air, dan api.” (HR. Abu Daud, no. 3479; hadits sahih)
Yang dimaksud dengan “kala’” dalam hadits di atas adalah ‘rumput’, baik rumput segar ataupun rumput yang sudah menjadi kering. Adapun yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah rumput yang tumbuh di tanah yang tidak bertuan, tidak dimiliki oleh siapa pun. Yang dimaksud dengan “air” adalah ‘air hujan’, mata air, dan sungai, yang tentu saja semuanya tidak ada yang memiliki.
Adapun yang dimaksudkan dengan “api” adalah ‘kayu bakar yang didapatkan dari pohon yang tumbuh di tanah yang tidak bertuan’. Demikian pula, batu yang ada di tanah tidak bertuan yang bisa dipakai untuk menyalakan api. Ada juga ulama yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “api itu milik bersama” adalah ‘kita tidak boleh melarang orang yang minta api kepada kita untuk menyalakan lampu tradisionalnya dan kita tidak boleh melarang orang yang memanfaatkan cahaya dari api yang kita miliki, selama hal tersebut tidak merugikan kita’. (Minhah Al-Allam, juz 6, hlm. 489–490)
Hadits di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa tiga hal yang telah disebutkan itu tidak boleh dimonopoli oleh sebagian kaum muslimin karena tiga hal tersebut merupakan milik bersama seluruh kaum muslimin. Seluruh kaum muslimin bebas memanfaatkannya.
Tiga hal tersebut memiliki uraian detail sebagai berikut:
(1) Rumput yang tumbuh di tanah tidak bertuan atau yang tumbuh di gunung, dan rumput tersebut belum dipotong dan diambil oleh seseorang. Adapun rumput yang tumbuh di tanah milik seseorang maka status hukumnya diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat pertama: Pemilik tanah tidak boleh menghalangi orang yang akan mengambil rumput di tanah miliknya, berdasarkan hadits di atas. Akan tetapi, pemilik tanah boleh melarang orang lain yang hendak masuk ke tanahnya karena tanah tersebut adalah tanahnya, dengan syarat: orang-orang yang membutuhkan rumput bisa mendapatkan rumput di tempat lain. Jika rumput yang diperlukan tidak bisa didapatkan di tempat yang lain, padahal rumput tersebut sangat dibutuhkan, maka pemilik tanah hendaknya mengizinkan orang yang memerlukan rumput untuk masuk ke tanahnya atau si pemilik tanah yang memotongkan rumput lalu menyerahkannya kepada orang yang membutuhkannya.
Pendapat kedua: Rumput yang tumbuh di tanah milik seseorang adalah milik si pemilik tanah sehingga pemilik tanah boleh menjual rumput tersebut dan boleh menghalangi orang yang mau mengambil rumputnya. Alasannya, rumput tersebut berstatus hukum mengikuti status hukum dari tanah, sedangkan hadits di atas–menurut pendapat ini–hanya berlaku untuk rumput yang tumbuh di tanah yang tidak bertuan.
Pendapat ketiga: Jika rumput tersebut tumbuh dengan sendirinya maka rumput tersebut bukanlah milik si pemilik tanah. Namun, jika pemilik tanah memiliki peran untuk tumbuhnya rumput di tanahnya–semisal dia cangkuli tanahnya sehingga jika hujan turun maka dimungkinkan bagi rumput untuk bisa tumbuh–maka rumput semisal ini adalah milik si pemilik tanah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat, hlm. 121.
(2) air hujan yang terkumpul di suatu tempat, demikian pula mata air dan sungai. Tidak ada orang yang lebih berhak atas air di tempat-tempat tersebut kecuali karena alasan bahwa tanah miliknya berdekatan dengan sumber air tersebut. Oleh karena itu, orang tersebut adalah yang paling berhak memanfaatkan air, baik untuk mengairi tanamannya, memberi minum hewan peliharaannya, atau konsumsi air minum untuk dirinya.
(3) Tanah tidak bertuan, yang menjadi sumber kayu bakar bagi banyak orang, juga merupakan milik semua orang. Demikian pula, wajib untuk memberikan api kepada orang yang membutuhkannya, misalnya: orang yang meminta api dari obor kita untuk menghidupkan obornya atau orang yang perlu menghangatkan badan dari api unggun yang kita nyalakan.
Meski demikian, jika tiga hal di atas telah menjadi milik pribadi atau telah “diamankan” oleh individu tertentu maka itu adalah miliknya. Misalnya: ada orang yang telah “mengamankan” air ke dalam wadahnya, ke tandon air miliknya, atau semisalnya, maka air tersebut menjadi miliknya, berdasarkan ijma’ atau kesepakatan ulama. Namun, orang tersebut sama sekali tidak berhak untuk melarang orang yang membutuhkannya untuk memanfaatkan air, api, atau rumput yang berlebih dari kebutuhan pemilik. Bahkan, orang tersebut wajib menggunakan barang bersisa tersebut untuk membantu fakir miskin atau orang lain yang membutuhkannya, tanpa mengambil kompensasi apa pun.
عن هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ كَانَ لَهُ فَضْلُ مَاءٍ بِالطَّرِيقِ ، فَمَنَعَهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga jenis orang yang tidak akan Allah pandang pada hari kiamat nanti, dia tidak akan disucikan, dan untuknya siksa yang pedih. Pertama adalah orang yang memiliki kelebihan air di dekat jalan yang dilalui oleh banyak orang lalu dia halangi musafir yang membutuhkan air untuk memanfaatkannya ….” (HR. Bukhari, no. 2358)
Hadits ini adalah dalil untuk menyatakan bolehnya kepemilikan individu untuk air karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “… Memiliki kelebihan air ….” Ibnu Baththal mengatakan, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa pemilik sumur di dekat jalan itu lebih berhak daripada musafir, ketika pemilik sumur membutuhkan air. Namun, jika pemilik sumur telah memenuhi kebutuhan airnya maka dia tidak boleh melarang musafir untuk memanfaatkan air sumurnya.” (Syarh Ibni Baththal, 6:499)
Demikian pula dengan kayu bakar; selama kayu bakar masih berada di tempat tumbuhnya, di tanah yang tidak bertuan, maka kayu tersebut menjadi milik semua orang. Akan tetapi, jika ada seseorang yang mengambil dan “mengamankannya” maka kayu bakar tersebut telah menjadi miliknya sehingga dia boleh menjualnya. (Minhah Al-Allam, juz 6, hlm. 490–491, dengan beberapa peringkasan)
Ringkasnya, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi (di Milis Pengusaha Muslim, fatwa tanggal 17 Maret 2011, pukul 17:27), “Tidak masalah menjual air minum atau air lainnya, yang diperoleh dengan mengeluarkan biaya atau jerih payah. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa seluruh manusia adalah sekutu dalam tiga hal: air, api dan rumput, maka yang dimaksudkan ialah yang ada di padang rumput, di tepi jalan umum yang tak bertuan, atau api unggun. Adapun air yang telah diproses–tentunya dengan biaya–maka tidak mengapa untuk dikomersilkan. Demikian dijelaskan oleh para ulama pensyarah hadits dan juga ulama-ulama fikih.”
Berdasarkan rincian penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa bisnis PAM, baik yang ditangani oleh PEMDA ataupun swasta, hukumnya adalah boleh.
Artikel www.PengusahaMuslim.com